Kontras Temukan Sejumlah Kejanggalan dalam Sidang Etik Terkait Kematian Siyono


Staf Divisi Hak Sipil Politik Kontras, Satrio Wirataru saat memberikan keterangan pers terkait hasil Sidang Etik Anggota Densus 88 atas kematian terduga teroris Siyono, di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Senin (16/5/2016).

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai, mekanisme sidang etik terhadap anggota Densus 88 atas kasus kematian Siyono tidak menyelesaikan dugaan penyiksaan yang terjadi.
Staf Divisi Hak Sipil Politik Kontras, Satrio Wirataru mengatakan, sejak awal ada beberapa kejanggalan yang ditemukan oleh Kontras dari sidang kode etik.
Selain itu, hingga saat ini, Majelis Etik Polri juga tidak memberikan alasan atas vonis yang dijatuhkan.
"Kami tidak kaget karena dari awal ada kejanggalan. Sampai sekarang pun tidak ada alasan dari Majelis Etik atas vonis tersebut," ujar Satrio, saat memberikan keterangan pers di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Senin (16/5/2016).
Lebih jauh, Satrio menjelaskan, ada beberapa indikasi yang menunjukkan sidang kode etik tidak bisa menyelesaikan kasus dugaan penyiksaan terhadap Siyono.
Pertama, sidang etik kasus Siyono dilakukan secara tertutup. Menurut Satrio, keputusan Majelis Etik yang menyatakan bahwa sidang etik kasus Siyono tidak dibuka kepada publik dengan alasan keamanan anggota Densus 88 adalah alasan yang berlebihan.
Sidang kode etik yang dilakukan secara tertutup justru melanggar prinsip akuntabilitas, kesamaan hak, kepastian hukum, keadilan dan transparansi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Kapolri No 19 Tahun 2012 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Polri.
"Bila menyangkut soal keamanan, Anggota Densus kan dapat disamarkan identitasnya dan memakai topeng penutup wajah saat di persidangan," ujar dia.
Kedua, mekanisme etik Polri dinilai tidak mampu memberikan sanksi yang adil.
Sanksi demosi dan permintaan maaf kepada atasan pelaku serta institusi Polri dianggap tidak adil jika dibandingkan dengan perbuatan dua anggota Densus 88 yang menyebabkan tewasnya Siyono.
Menurut Satrio, sidang etik tidak adil karena hanya mengkaji adanya pelanggaran prosedur. Sanksi terberat yang dapat diberikan, yakni pemberhentian dengan tidak hormat.
Sanksi ini pun dapat diberikan jika terlebih dulu dilakukan proses pidana terhadap anggota Densus 88.
Ketiga, mekanisme etik Polri tidak mampu memenuhi hak saksi dan korban. Pasalnya, Majelis Etik melarang ayah Siyono, Marso Diyono, untuk didampingi kuasa hukum saat akan memberikan kesaksian.
Satrio mengatakan, saksi memiliki hak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan, mendapatkan informasi kasus dan putusan pengadilan maupun nasehat hukum sebagaimana diatur dalam UU No 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
"Dalam sidang kode etik tentu tidak bisa dibenarkan," kata Satrio.
Oleh karena itu, dia berharap proses hukum secara pidana tetap dilakukan untuk menjamin rasa keadilan, pemberian sanksi yang adil dan pemenuhan hak-hak bagi korban maupun keluarga korban.
First
'; (function() { var dsq = document.createElement('script'); dsq.type = 'text/javascript'; dsq.async = true; dsq.src = '//' + disqus_shortname + '.disqus.com/embed.js'; (document.getElementsByTagName('head')[0] || document.getElementsByTagName('body')[0]).appendChild(dsq); })();